GREBEG SUDIRO: BUDAYA
KEARIFAN LOKAL
TIONGHOA-JAWA DI SURAKARTA
Oleh
PRATIKA RIZKI DEWI
NIS. 19202
SMA NEGERI 2 SURAKARTA
Jalan Monginsidi No. 40 Surakarta, Jawa Tengah
Telp. (0271) 653416
2016
SURAT
PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN
Yang
bertandatangan dibawah ini,
Nama
Lengkap : Pratika Rizki Dewi
NIS : 19202
Kelas : XII IIS 1
Sekolah : SMA Negeri 2 Surakarta
Alamat
Sekolah : Jalan Monginsidi 40
Surakarta
Telp/faks : (0271) 653416/638080
Alamat
Rumah : Jalan Kahuripan Selatan
IX 04/04 Sumber, Surakarta
Telp/Hp
: 085728445940
Menyatakan bahwa penelitian ini
yang berjudul “Grebeg Sudiro: Budaya Kearifan Lokal Tionghoa-Jawa di Surakarta”
adalah sepenuhnya ditulis oleh peneliti dengan rincian sebagai berikut:
Peneliti
|
Nama Lengkap
|
:
|
PRATIKA RIZKI DEWI
|
NIS
|
:
|
19202
|
Kelas
|
:
|
XII IIS 1
|
Dikerjakan
dibawah pembimbing,
Nama Lengkap
|
:
|
Sumargono, M.Pd
|
Bidang Studi yang Diampu
|
:
|
Sejarah
|
Orisinalitas karya penelitian ini
dibuat tanpa ada unsur plagiarisme. Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan
sebenar-benarnya.
Surakarta, 22 April 2016
Pembimbing
Penelitian, Peneliti,
Sumargono,
M.Pd Pratika
Rizki Dewi
Kepala SMA Negeri 2
Surakarta
Drs.
Sutikno, M.M
NIP. 19630419 198703 1 006
ABSTRAK
Pratika Rizki Dewi. NIS: 19202.
2016. Grebeg Sudiro: Budaya Kearifan Lokal Tionghoa-Jawa di Surakarta. Penelitian.
Pembimbing: Sumargono, M.Pd. SMA Negeri 2 Surakarta.
Tujuan dari
penelitian ini adalah mengenalkan Grebeg Sudiro di kalangan masyarakat.
Sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai latar belakang dan
pelaksanaan perayaan Grebeg Sudiro. Perayaan ini adalah hasil dari akulturasi
budaya etnis Tionghoa dengan pribumi Jawa di Surakarta. Hingga tahun ini,
tercatat sudah sembilan perayaan yang berhasil dilaksanakan. Biasanya Grebeg
Sudiro diadakan satu minggu sebelum perayaan Imlek. Selama waktu tersebut,
terdapat beberapa rangkaian kegiatan sepertiUmbul
Matram, Wisata Perahu, Kirab Budaya, dan Pesta Kembang Api. Bukan hanya sekedar
terlibat dalam perayaan, masyarakat dan generasi muda bersedia untuk memahami
nilai budaya kearifan lokal yang dimiliki oleh Grebeg Sudiro.
Metode
penelitian yang dipergunakan adalah metode kualitatif yang bertumpu terhadap
analisa data tertulis maupun lisan. Langkah kerja dalam penelitian meliputi: 1)
studi pendahuluan, 2) pengumpulan data dan analisa awal, 3) analisa akhir, 4)
penarikan kesimpulan dan penulisan laporan. Teknik pengumpulan data yang
dipergunakan adalah wawancara, observasi, dan analisa dokumen.
Berdasarkan
hasil penelitian dapat disimpulkan: 1) Perayaan Grebeg Sudiro telah digagas
sejak tahun 2007 dengan konsep pembauran budaya Tionghoa-Jawa di Sudiroprajan,
2) Grebeg Sudiro diadakan satu minggu sebelum perayaan Imlek dan dipusatkan di
kawasan Pasar Gedhe maupun Sudiroprajan. Setiap tahunnya Grebeg Sudiro selalu
didasarkan semangat Bhineka Tunggal Ika, 3) Grebeg Sudiro mampu menghapuskan
kesenjangan antara etnis Tionghoa dengan pribumi Jawa. Pelestariannya sebagai
potensi wisata hendaknya terus diupayakan oleh seluruh pihak dengan tetap
berpijak pada nilai tradisi, budaya, dan kearifan lokal di Surakarta.
Kata Kunci: Kebudayaan, Tradisi,
Akulturasi.
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa terpanjatkan ke
hadirat Tuhan YME karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan
penelitian ini dapat terselesaikan. Banyak hambatan yang peneliti temui dalam
penyelesaian penyusunan penelitian ini, namun hal tersebut tidak terlepas dari
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti
menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
pihak yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, saran, dan bantuannya, di
antaranya kepada:
1.
Bapak Drs. Sutikno, M.M selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Surakarta.
2.
Bapak Sumargono, M.Pd selaku guru sejarah dan sekaligus pembimbing, yang
dengan sabar mendampingi peneliti, memberikan bimbingan, saran, dukungan, dan
motivasi sejak awal sampai akhir penulisan penelitian ini.
3.
Bapak Dalima selaku Lurah Sudiroprajan dan Ibu Heni Susilowati selaku
kasi tata pemerintah Sudiroprajan, yang telah berkenan memberikan informasi
dalam penelitian ini.
4.
Bapak Hong Siang selaku humas klenteng Tien Kok Sie dan Ibu Harti selaku
penjaga klenteng Tien Kok Sie, yang telah berkenan memberikan informasi dalam
penelitian ini.
5.
Bapak Adjie Chandra selaku tokoh Majelis Kong Hu Chu Indonesia (Makin),
yang telah berkenan memberikan informasi dalam penelitian ini.
6.
Bapak Tomi Trihartanto selaku ketua Grebeg Sudiro 2016 sekaligus ketua
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sudiroprajan, yang telah berkenan memberikan
informasi dalam penelitian ini.
7.
Semua pihak yang turut
membantu penyusunan penelitian ini.
Peneliti
menyadari keterbatasan yang dimiliki sehingga penelitian ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak.
Surakarta, 22 April 2016
Peneliti
Pratika Rizki Dewi
DAFTAR
ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................... i
PERNYATAAN
ORISINALITAS ................................................ ii
ABSTRAK....................................................................................... iii
KATA PENGANTAR..................................................................... iv
DAFTAR ISI................................................................................... v
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan
Masalah ................................................................ 1
BAB II.
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang Grebeg Sudiro .............................................. 2
B. Proses
Perayaan Grebeg Sudiro ............................................ 3
C. Perkembangan
Grebeg Sudiro .............................................. 5
D. Grebeg
Sudiro: Wujud Nyata Akulturasi di Surakarta ......... 6
E. Grebeg
Sudiro Sebagai Potensi Pariwisata di Surakarta ....... 9
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
........................................................................... 10
B. Saran
..................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 11
LAMPIRAN..................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejak dahulu,
Surakarta telah dikenal sebagai kota yang memiliki tingkat keragaman suku,
etnis, budaya, dan agama yang cukup menonjol. Dari beragam etnis yang ada di
Surakarta, orang keturunan Cina (Tionghoa) merupakan kelompok dengan
perkembangan yang paling pesat. Mereka tinggal di Sungai Pepe sekitar Pasar Gedhe yang
dikenal dengan sebutan Kampung Pecinan atau Sudiroprajan (Benny Juwono, 1999:
56).
Interaksi sosial
antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Tionghoa terlihat melalui keterbukaan
kesempatan untuk saling mengenal budaya. Hal ini ditampilkan dalam perayaan Grebeg Sudiro yang merupakan perpaduan
antara budaya Tionghoa dengan Jawa. Tradisi Grebeg Sudiro menyajikan kirab
budaya, gunungan, barongsai-liong, hingga rebutan kue keranjang. Melalui karya
ilmiah penelitian ini, penulis berharap akan berdampak terhadap pelestarian
Grebeg Sudiro bukan hanya dari segi perayaan saja, melainkan dari segi nilai
luhur atau kearifan lokal yang diiringi dengan pengembangan potensi pariwisata.
Mari lestarikan budaya, sebelum kita tercabut dari akar budaya.
B.
Rumusan
Masalah
Berikut adalah rumusan masalah yang
akan dibahas dalam karya ilmiah ini.
1.
Bagaimana latar
belakang perayaan Grebeg Sudiro di Surakarta?
2.
Bagaimana pelaksanaan
perayaan Grebeg Sudiro di Surakarta?
3.
Bagaimana
nilai budaya dan pelestarian perayaan Grebeg Sudiro di Surakarta?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Grebeg Sudiro
Grebeg Sudiro
merupakan sebuah tradisi baru yang menunjukkan potret pembauran budaya antara
tradisi Jawa dengan Tionghoa. Perayaan ini bukan hanya sebuah pesta menyambut
Imlek saja, melainkan menjadi syukur dari indahnya keberagaman dan toleransi.
Perayaan Grebeg Sudiro merupakan pengembangan tradisi yang telah ada
sebelumnya, yaitu Buk Teko yang sudah
dirayakan semenjak Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana X (1893-1939).Meskipun memiliki latar
belakang sejarah, namun keberadaannya lebih tepat digolongkan kedalam sejarah
kontemporer.
Grebeg Sudiro
diciptakan pada tahun 2007 oleh warga Sudiroprajan yaitu Bapak Oeki Bengki,
Bapak Sarjono Lelono Putro, dan Bapak Kamajaya. Gagasan ini sebenarnya tercipta
dari ketidaksengajaan ketika para pendiri sedang berkumpul di depan Pasar Gedhe. Mereka memiliki kesamaan
pemikiran untuk mengangkat nama Sudiroprajan agar dikenal masyarakat luas.
Grebeg Sudiro berasal dari kata Grebeg yang
berarti perayaan syukur oleh masyarakat Jawa, dan Sudiro merupakan nama daerah dominasi Tionghoa di Surakarta. Setiap
tahunnya perayaan ini selalu mengambil makna filosofis dari Bhineka Tunggal Ika
(Wawancara dengan Dalima selaku Lurah Sudiroprajan, Selasa 8 Maret 2016).
Suasana
Imlek inilah sering dijadikan salah satu ukuran guna menilai “Kebangkitan etnis
Tionghoa”. Imlek dijadikan salah satu strategi esensialisme (essentialism), dimana simbol-simbol
identitas Tionghoa kembali dihadirkan dalam proses politik pengakuan (Christine
Susanna Tjhin, 2008: 355).
B.
Proses
Perayaan Grebeg Sudiro
Perayaan Grebeg
Sudiro diadakan seminggu sebelum Imlek. Sebagai upaya untuk memperlancarnya,
terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum puncak perayaan (pra-event). Tiga hari menjelang puncak
Grebeg Sudiro, diadakan tradisi “Sedekah Bumi” dimana masyarakat mengadakan
kirab mengelilingi kampung Sudiroprajan. Kirab dilakukan untuk memohon berkat
dan doa demi kelancaran Grebeg Sudiro. Setelah sedekah bumi, akan dilanjutkan
dengan tarian Sudiro Seto hingga
orkes musik Manunggaling Rasa
Sudiroprajan.
Selanjutnya,
puncak perayaan Grebeg Sudiro dipusatkan di Pasar Gedhe untuk tahun ini berlangsung pada 31 Januari 2016. Tema
perayaan tahun ke IX ini adalah “Harmoni dalam Kebhinekaan” yang terdiri dari
empat perayaan yang mendukung, yakni:
1. Umbul
Mantram dan Pergelaran Wayang Kulit (28 Januari 2016 di Balong)
2. Bazar
Potensi dan Wisata Perahu Hias Kali Pepe (28 Januari-7 Februari 2016 di
bantaran Sungai Pepe sekitar Pasar Gedhe)
3. Karnaval
Budaya Grebeg Sudiro (31 Januari 2016, dengan rute kirab Pasar Gedhe-Jl.Jend
Sudirman-Jl.Mayor Sunaryo, Jl.Kapten Mulyadi- Perempatan Ketandan-Jl.R.E
Martadinata-Jl.Cut Nyak Dien-Jl.Ir Juanda-Perempatan Warung Pelem-Jl.Urip
Sumoharjo-Pasar Gedhe)
4. Pesta
Kembang Api (7 Februari 2016 di kawasan pasar Gedhe)
Perayaan Grebeg
Sudiro 2016 berbeda dengan tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan Grebeg Sudiro
telah dijadikan sebagai event
nasional. Perayaan diawali dengan penjemputan perwakilan kementerian dari
balaikota Surakarta menuju panggung Grebeg Sudiro dengan menggunakan kereta
kencana. Dalam penjemputan ini, Bapak FX. Hadi Rudyatmo selaku Walikota
Surakarta bertugas sebagai cucuk lampah yang
berjalan di barisan paling depan dan ada pula Anoman sebagai perwakilan Jawa
serta Sung Go Kong sebagai perwakilan
Tionghoa. Kereta kencana bukanlah menggambarkan penguasa, melainkan pembauran
dengan masyarakat (Wawancara dengan Tomi Trihartanto selaku ketua Grebeg Sudiro
2016, Kamis 10 Maret 2016).
Perayaan
dilanjutkan dengan kirab budaya yang diawali dan diakhiri di Pasar Gedhe.
Sebelum kirab budaya dimulai, semua gunungan dan barongsai maupun liong dibawa
ke klenteng Tien Kok Sie untuk
disembhayangkan memperoleh doa dan berkat. Selanjutnya diarak dengan iringan
berbagai kesenian perpaduan Jawa dan Tionghoa, seperti jodang budaya, gunungan jaler
dan estri, Solo Batik Carnival (SBC),lakon
punakawan, prajurit keraton, hingga busana nusantara.
Momen yang
paling dinantikan dalam perayaan Grebeg Sudiro adalah gunungan kue keranjang
yang diperebutkan masyarakat. Total sebanyak 4.000 buah kue keranjang seberat 1
ton, ditata dalam gunungan berbagai bentuk yang disebar dalam 5 titik wilayah
untuk dibagikan. Dalam hitungan detik, ribuan kue keranjang ludes habis.
Perebutan ini menjadi simbol bahwa manusia hidup tidak boleh berdiam diri saja.
Manusia harus bergerak, harus berusaha untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya. Manusia yang hanya diam saja berarti telah mati, tidak punya
impian, dan tidak memiliki cita-cita. Berakhirnya rebutan gunungan kue
keranjang, disusul dengan penyalaan lampion buk
teko yang dipasang di lantai dasar Pasar Gedhe. Penyalaan lampion ini
menandai dimulainya Imlek bagi etnis Tionghoa (Tissania Clarasati Adriana,
2012: 58).
C.
Perkembangan
Grebeg Sudiro
Setiap tahunnya,
Grebeg Sudiro mampu menampilkan integrasi antara Tionghoa-Jawa dengan berbagai
inovasinya. Berikut adalah perkembangan Grebeg Sudiro berdasarkan tema tahun ke
tahun:
1) Grebeg
Sudiro 2008 : Belum memiliki tema tertentu
2) Grebeg
Sudiro 2009 : Belum memiliki tema tertentu
3) Grebeg
Sudiro 2010 : Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh
4) Grebeg
Sudiro 2011 : Kebhinekaan dalam Kebersamaan
5) Grebeg
Sudiro 2012 : Guyub Rukun Agawe Santoso, Sudiro Kampung Kebhinekaan Bersatu
dalam Keberagaman
6) Grebeg
Sudiro 2013 : Merangkai Kebhinekaan Perkokoh Kesatuan
7) Grebeg
Sudiro 2014 : Melukis Indonesia Bernafas
Bhineka Tunggal Ika
8) Grebeg
Sudiro 2015 : Manunggaling Budaya
Nguri-uri Luhuring Bangsa
9) Grebeg
Sudiro 2016 : Harmoni dalam Kebhinekaan
Pada awal
keberadaannya, Grebeg Sudiro hanya menjadi event
kampung, barulah di tahun 2010 Grebeg Sudiro diangkat menjadi agenda tahunan
kota Surakarta. Keberadaan Grebeg Sudiro yang menarik perhatian dengan tetap
menampilkan identitas budaya, menjadikannya ditetapkan sebagai event nasional di tahun 2016.
Kebhinekaan yang
ada di berbagai komunitas mampu mengikat diri sendiri sebagai bangsa karena
faktor kebersamaan dan keinginan sukarela untuk hidup bersama (Purwasito, 2015:
218). Fenomena yang terjadi di Sudiroprajan ketika budaya etnis Tionghoa masuk
dan pribumi Jawa bersedia menerima dan terbuka, telah mampu mencerminkan sikap
luhur kearifan lokal bangsa Indonesia.
D.
Grebeg
Sudiro: Wujud Nyata Akulturasi di Surakarta
Perayaan Grebeg
selalu identik dengan gunungan. Seperti halnya Grebeg Maulud ataupun Grebeg
Sekaten, masyarakat Sudiroprajan menampilkan ucapan syukur dalam bermacam-macam
gunungan yang mengandung filosofi budaya.
a.
Gunungan Jaler (laki-laki) dan Gunungan Estri (perempuan)
Gunungan jaler dibuat lebih besar daripada estri. Hal ini dikarenakan gunungan jaler melambangkan raja, sosok
laki-laki, dan gunungan estri melambangkan
permaisuri raja. Kedua gunungan ini diisi dengan kue keranjang yang disusun
menjulang. Menurut kepercayaan Khong Hu Chu seminggu sebelum Imlek, Dewa Dapur
atau Cau Kun Kong akan singgah ke
rumah-rumah lalu kembali ke langit. Oleh karena itu, kue keranjang dibuat manis
untuk menyenangkan Dewa Dapur dengan tujuan supaya Dewa Dapur memberitakan
hal-hal manis kepada Tuhan. Selain itu, makna lainnya berasal dari bahan dasar
kue keranjang. Ketan lambang dari Tionghoa dan gula merah lambang dari Jawa,
keduanya lengket yang bermakna mampu mengakrabkan (Wawancara dengan Adjie
Chandra selaku tokoh MAKIN, Rabu 9 Maret 2016).
b.
Gunungan Pawuhan
Gunungan pawuhan diletakkan di jodang dan disusun menjulang dengan
ukuran yang lebih kecil dari gunungan utama. Pada bagian puncak gunungan
diletakkan bendera merah putih sebagai mustaka
atau mahkota sebagai lambang cucu raja atau lebih dimaknai sebagai generasi
muda. Bendera merah putih juga melambangkan sila ketiga Pancasila yaitu
Persatuan Indonesia. Gunungan ini berisi jajanan pasar seperti bakpao, bakpia,
dan onde-onde. Pada akhir kirab budaya, gunungan pawuhan juga diperebutkan oleh masyarakat.
Akulturasi bukan
hanya terlihat dari gunungan saja, melainkan dari segi lain seperti ornamen
maupun proses perayaan, antara lain:
a.
Lampion Imlek dan
Lampion Buk Teko
Dalam perayaan
Grebeg Sudiro, kawasan Sudiroprajan dan Pasar Gedhe selalu dihiasi dengan
lampion khas Tionghoa. Lampion ini melambangkan kemeriahan dan kebahagiaan
menyambut Imlek. Selain itu, terdapat pula sebuah lampion unik yang tergantung
di Pasar Gedhe yaitu lampion Buk Teko. Lampion
ini berbentuk menyerupai teko berukuran besar dan dibuat untuk mengenang Sunan
Paku Buwana II. Ketikan Sunan sedang melewati Sungai Pepe, tutup teko miliknya
terjatuh dan dicari tetapi tidak ditemukan. Tutup teko yang terjatuh menjadi
simbol rakyat kecil, sedangkan teko disimbolkan sebagai penguasa. Sehingga
antara rakyat dan penguasa diharapkan bersatu. Selain itu, ada kepercayaan lain
yang menyebutkan buk teko adalah nama
salah satu tokoh kuno Sudiroprajan yang biasa disebut mbah teko (Wawancara dengan Adjie Chandra selaku tokoh MAKIN, Rabu
9 Maret 2016).
b.
Perahu Jawa dan Perahu
Tionghoa
Selama berada
dalam perayaan Grebeg Sudiro hingga Cap
Go Meh, setiap malam selalu diadakan festival perahu di Sungai Pepe
Sudiroprajan. Sungai ini menjadi jalur awal kedatangan etnis Tionghoa ke
Surakarta. Disediakan dua buah perahu, satu perahu dihiasi ornamen Tionghoa dan
perahu lainnya dihiasi ornamen Jawa. Kedua perahu ini berjalan beriringan
sehingga menjadi simbol keberadaan Tionghoa yang telah mampu berinteraksi dalam
iringan harmonis dengan pribumi Jawa (Wawancara dengan Hong Siang selaku humas
Klenteng Tien Kok Sie, Senin 7 Maret
2016).
c.
Barongsai dan Liong
Barongsai
berasal dari kala barong yang artinya
topeng dan sai penyesuaian dari samsi yang berarti singa. Barongsai
dalam kepercayaan Tionghoa melambangkan kebahagiaan dan dipercaya merupakan
pertunjukan yang bisa membawa keberuntungan. Barongsai juga diyakini sebagai
tradisi tolak bala. Pasangan kesenian barongsai adalah liong. Liong merupakan
tarian naga yang melambangkan kecerdasan dan kearifan serta dipercaya dapat
membawa keberuntungan, kesuburan, dan kebijaksanaan. Pada kening barongsai dan
liong terdapat tulisan Wang yang
berarti raja, dalam tulisan atau huruf Cina terdiri dari 3 garis mendatar dan 1
garis vertikal. Tulisan tersebut melambangkan bahwa kita manusia tidak terlepas
dari 3 unsur yaitu Tuhan, alam (bumi), dan makhluk hidup (manusia). Kesenian
ini telah mengalami akulturasi dengan budaya Indonesia, sehingga semua ornamen
dan gerakan tari-tariannya sudah disesuaikan dengan selera lokal. Jika dilihat
lebih saksama, maka akan terlihat bahwa penari barongsai dan liong didominasi
oleh pribumi Jawa bukan Tionghoa. Hal ini membuktikan bahwa kesenian Tionghoa telah
diterima oleh pribumi Jawa (Wawancara dengan Adjie Chandra selaku tokoh MAKIN,
Rabu 9 Maret 2016).
Apa saja yang
dipakai, dimakan, dan dikerjakan, benda apa saja yang diciptakan merupakan
simbol komunikasi. Grebeg Sudiro mampu menjadi saluran yang tepat dari
masyarakat Sudiroprajan dalam membina pendidikan komunikasi multikultural yang
baik pada masyarakat Surakarta (Raffa Widyaningsih, 2015: 79). Bapak Dalima
selaku lurah Sudiroprajan menjelaskan bahwa melalui Grebeg Sudiro prasangka
antar etnis berhasil diruntuhkan. Sudah tidak ada lagi penyebutan etnis
Tionghoa sebagai asing, mereka adalah bagian dari kita.
E.
Grebeg
Sudiro Sebagai Potensi Pariwisata di Surakarta
Kota Surakarta
memiliki potensi tinggi terutama berkaitan dengan kesenian, sejarah, dan
budaya. Grebeg Sudiro menjadi salah satu aset budaya di Kota Surakarta yang
mampu dikenalkan hingga dunia internasional. Berbagai langkah dapat dilakukan
untuk menunjang keberadaan Grebeg Sudiro sebagai potensi pariwisata, seperti:
1.
Revitalisasi bangunan
kuno di kawasan Balong-Sudiroprajan
2.
Penataan Pasar Gedhe
dan koridor Urip Sumoharjo
3.
Wisata kuliner
perpaduan Tionghoa-Jawa
4.
Promosi Grebeg Sudiro (pra-event)
Distribusi dan Diagram Pelaksanaan Grebeg Sudiro
Berdasarkan
validasi pelaksanaan Grebeg Sudiro, masyarakat Surakarta
sangat setuju dan mendukung perayaan tersebut. Potensi wisata dimaknai sebagai
keunggulan yang tetap harus menyesuaikan dengan budaya lokal daerah. Akulturasi
budaya yang seimbang dalam Grebeg Sudiro hendaknya selalu dijaga keberadaannya,
karena inilah yang akan menjadi warisan luhur budaya Surakarta dan Indonesia.
Mari bersama kita wujudkan masyarakat berbudaya, banggalah dengan budaya daerah
yang kita miliki.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
karya ilmiah dengan judul “Grebeg Sudiro: Budaya Kearifan Lokal Tionghoa-Jawa
di Surakarta” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Grebeg Sudiro merupakan
sebuah akulturasi budaya antara etnis Tionghoa dengan pribumi Jawa di
Sudiroprajan. Perayaan ini dicetuskan pada tahun 2007 oleh masyarakat
Sudiroprajan yaitu Bapak Oeki Bengki, Bapak Sarjono Lelono Putro, dan Bapak
Kamajaya. Grebeg Sudiro diadakan seminggu sebelum Imlek, dengan kegiatan utama
kirab budaya dan rebutan gunungan.
2.
Grebeg Sudiro mampu
menghapus kesenjangan antara etnis Tionghoa maupun Jawa. Pelestarian Grebeg
Sudiro sebagai potensi wisata di Surakarta merupakan hal yang sangat penting
dilakukan, terutama terkait keberadaan nilai budaya yang dimilikinya.
B.
Saran
Beberapa saran
dapat penulis sampaikan, antara lain:
1.
Kepada seluruh
masyarakat Surakarta. Mewujudkan suatu kesatuan antar etnis bukanlah hal yang
mudah, sehingga diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai pihak.
Keberadaan Grebeg Sudiro hendaknya mampu dijadikan sebagai jembatan persatuan.
2.
Kepada
Dinas Pariwisata Surakarta. Grebeg Sudiro kaya dengan nilai budaya, tradisi,
dan kearifan lokal. Hendaknya pihak yang terkait dengan pariwisata bersedia
mendukung keberadaan Grebeg Sudiro, sebagai salah satu warisan budaya. Melalui
budaya, bangsa akan dikenal dan memperkuat identitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Tertulis
Buku:
Christine Susanna Tjhin. 2008. Pemikiran Tionghoa Muda, Cokin? So What Gitu
Loh!. Jakarta: Komunitas Bambu.
Justian Suhandinata. 2009. WNI Keturunan Tionghoa Dalam Stabilitas
Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kinasih, Ayu Windy. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo.
Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada.
Mackie J.A.C. 1991. Perang
Ekonomi dan Identitas Cina di Indonesia dan Muanghtai. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
Mely G. Tan. 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Suatu
Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan
Cina Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa (Orang-orang Tionghoa dalam
Kebudayaan Jawa). Yogyakarta: Ombak.
Sumber Tertulis
Jurnal:
Adriana, Clarasati Tissania.
2012. Skripsi: Tradisi Grebeg Sudiro di
Sudiroprajan (Akulturasi Kebudayaan Tionghoa dengan Kebudayaan Jawa). Surakarta:
Jurusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
Juwono Benny. 1999. Lembar
Sejarah: Masyarakat Cina di Indonesia pada Masa Kolonial (Etnis Cina di
Surakarta 1890-1927: Tinjauan Sosial Ekonomi). Yogyakarta: Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Widyaningsih Raffa. 2015. Skripsi: Misi Suci Grebeg Sudiro (Studi
Ekspolratif Pesan Ritual Budaya Grebeg Sudiro dalam rangka Persatuan). Surakarta:
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret.
Keputusan Presiden Nomor 6
Tahun 2000.
Sumber
Wawancara:
Wawancara
dengan Adjie Chandra selaku tokoh Majelis Kong Hu Chu Indonesia (MAKIN), pada 9
Maret 2016.
Wawancara
dengan Dalima selaku lurah Sudiroprajan, pada 8 Maret 2016.
Wawancara
dengan Harna selaku penjaga Klenteng Tien
Kok Sie, pada 7 Maret 2016.
Wawancara
dengan Heni Susilowati selaku kasi tata usaha, pada 8 Maret 2016.
Wawancara
dengan Hong Siang selaku humas Klenteng Tien
Kok Sie, pada 7 Maret 2016.
Wawancara
dengan Tomi Trihartanto selaku Ketua Grebeg Sudiro 2016 dan Ketua Pokdarwis,
pada 10 Maret 2016.
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Daftar
Informan
1.
Nama : Bapak Hong Siang
Alamat :
Jalan RE. Martadinata No. 12 Pasar Gedhe, Surakarta
Pekerjaan : Humas Klenteng Tien
Kok Sie, Pasar Gedhe
2.
Nama : Ibu Harti
Alamat :
Jalan Re. Martadinata No. 12 Pasar Gedhe, Surakarta
Pekerjaan : Penjaga Klenteng Tien
Kok Sie, Pasar Gedhe
3.
Nama : Bapak Dalima
Alamat :
Jalan RE. Martadinata No. 136 Jebres, Surakarta
Pekerjaan : Lurah Sudiroprajan
4.
Nama : Ibu Heni Susilowati
Alamat :
Jalan RE. Martadinata No. 136 Jebres, Surakarta
Pekerjaan : Kasi Tata Pemerintahan Sudiroprajan
5.
Nama : Bapak Adjie Chandra
Alamat :
Jalan Jagalan No. 15 Jebres, Surakarta
Pekerjaan : Pengurus Majelis Kong Hu Chu Indonesia (Makin)
6.
Nama : Bapak Tomi Trihartanto
Alamat :
Jalan Kali Ampar Jagalan Rt 02 Rw 12 Jebres, Surakarta
Pekerjaan : Ketua Grebeg Sudiro dan Ketua Pokdarwis Sudiroprajan